Sudah Menyebar 40 Tahun, di Mana Penyembuh Ebola?
http://www.srinadifm.com/2014/08/sudah-menyebar-40-tahun-di-mana.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Medecine Sans Frontieres (MSF)
menggambarkan Ebola sebagai salah satu penyakit paling mematikan di
dunia. Sekali menginfeksi, 90 persen penderitanya pasti akan berujung
kematian. Beberapa peneliti mengaku telah memiliki cara untuk memerangi
Ebola. Namun hingga saat ini belum ada satu pun yang masuk proses
produksi.
Virus
Ebola sejatinya telah menyebar sejak 40 tahun lalu. Menurut WHO,
penyakit ini terpusat di segala penjuru Afrika, khususnya di Sierra
Leone, Liberia dan Nigeria. Data
yang dimiliki lembaga kesehatan dunia itu menunjukkan, virus tersebut
telah menginfeksi 1.323 orang di tiga negara tersebut antara Maret
hingga Juli tahun ini. Dari angka itu, 729 penderita berakhir meninggal.
Karena
tidak adanya obat yang mampu menyembuhkan Ebola, pemerintah dan beberapa
institusi lain memilih melakukan tindakan preventif dalam mengurangi
dampak kematian Ebola. Salah satunya adalah dengan menggunakan pola
perawatan layaknya pasien HIV/AIDS, melalui isolasi dan perawatan
intensif.
Penderita
Ebola biasanya baru akan menyadari dirinya positif terinfeksi setelah
21 hari diagnosa. Itulah yang menyebabkan banyak korban berjatuhan.
Setelah 21 hari, rata-rata pasien berakhir meninggal dunia.
Adakah Obatnya?
Salah
satu penelitian yang didedikasikan untuk mencari obat Ebola adalah di
Amerika, tepatnya National Institutes of Health (NIH). Peneliti NIH
mengklaim telah berhasil membuat vaksin yang dipercaya mampu melumpuhkan
virus Ebola.
Setelah
meneliti selama bertahun-tahun, mereka menemukan vaksin tersebut mampu
melawan virus mematikan pada primata. Langkah berikutnya sebelum
benar-benar memproduksi, vaksin tersebut harus diujicobakan dulu pada
manusia. NIH berjanji akan mulai melakukan uji coba vaksin pada
September tahun ini.
Menurut
Dr Thomas Geisbert, yang bekerja di laboratorium University of Texas
Medical Branch, setidaknya ada 4 vaksin yang telah ditemukan untuk
memerangi Ebola. Tapi semuanya masih sebatas uji coba di hewan.
Pertama
yang dikembangkan Tekmira Pharmaceuticals dengan dana dari pemerintah
Amerika. Namun Food and Drug Administration Amerika menahan hasil
penelitian obat bernama TKM-Ebola itu karena dosisnya yang masih sedikit
untuk diberikan kepada relawan. TKM-Ebola menggunakan materi genetik
bernama RNA yang disematkan ke dalam virus dan memancing sistem imun
untuk melakukan perusakan virus.
Ada
juga T-705 yang di Jepang dikenal dengan nama Avigan. Sejatinya vaksin
ini untuk influenza namun saat di tes pada tikus, diketahui Avigan juga
mampu menyembuhkan Ebola. Avigan lebih mungkin untuk dikomersilkan
karena bentuk molekulnya bisa dikemas dalam bentuk pil. Saat ini US Army
Medical Research Institute of Infectious Diseases (USAMRIID) sedang
menguji coba Avigan pada hewan primata, yang memiliki gen lebih dekat
dengan manusia, ketimbang tikus.
Perusahaan
kecil bernama BioCryst juga telah menemukan vaksin potensi penyembuh
Ebola bernama BCX4430. USAMRIID juga terlibat dalam pengembangan ini.
Sayangnya, vaksin ini masih dalam tahap uji coba primata, belum ke
manusia.
Vaksin
lainnya adalah berbasis monoclonal antibodi, merekayasa protein sistem
kekebalan tubuh yang terdapat secara khusus pada mikroba. Disebut dengan
MB-003, menyediakan 100 persen proteksi pada monyet ketika diberikan
dosis yang tepat . MB-003 juga membantu mengurangi gejalanya.
Menurut Geisbert, ada juga beberapa vaksin yang menggunakan virus hidup.
Seperti virus vesicular stomatitis yang merekayasa genetika virus
sehingga menyerupai Ebola. Ada juga adenovirus, sebuah virus yang biasa
digunakan untuk influenza. Lainnya adalah virus-like particles yang
bertugas melawan penyakit lain melalui pendekatan virus ke virus.
Sayangnya, semua metode itu menggunakan virus aktif sehingga dipastikan
memiliki efek samping.
Amerika
sangat tertarik untuk berinvestasi dalam menemukan lawan virus Ebola.
Pasalnya, menurut peneliti USAMRIID, virus Ebola (EBOV) merupakan
kerabat dekat virus Marburg (MARV). Keduanya diperkirakan berpotensi
menjadi agen bioterorisme atau pembunuh masal.
Tak Diproduksi
Empat
vaksin telah ditemukan, termasuk satu yang terbukti telah menyelamatkan
monyet dari virus mematikan itu. Proses penyembuhan akan semakin lama,
seiring dengan proses produksi yang tak kunjung dilakukan. Satu-satunya
yang menjadi kendala adalah, uang.
Dilansir
melalui NBC News, meski Ebola telah menyebar luas di Afrika Barat,
namun pangsa pasar obatnya dianggap belum terlalu potensial untuk ukuran
perusahaan farmasi besar. Artinya, biaya penelitian dan modal produksi
tidak akan sebanding dengan pemasukan di kemudian hari.
“Tidak
ada pasar yang potensial. Hanya terjadi di Afrika Barat. Saya tidak
melihat adanya alasan bagi perusahaan farmasi ternama di dunia untuk
terlibat dalam penelitian ini. Hanya pemerintah Amerika yang peduli,”
ujar Dr Sina Bavari dari USAMRIID.
Saat
ini, pemberitaan menyebutkan sedikitnya ada puluhan pasien Ebola yang
sedang mendapatkan perawatan seadanya di Afrika. Tidak ada obat spesifik
untuk membantu mengatasi infeksi Ebola. Dalam penanganannya, menurut
WHO, pasien diberikan air dan garam untuk menggantikan cairan yang
hilang akibat muntah dan diare berkepanjangan. Mereka juga diberikan
obat penghilang rasa sakit untuk mengurangi demam. Selain itu diberikan
juga antibiotik untuk mencegah infeksi lain dalam tubuh pasien.
Masih Ada Harapan
Baru-baru
ini, sebuah serum telah diujicobakan ke penderita Ebola asal Texas,
Amerika, Nancy Writebol. Ada dua pasien Ebola asal Amerika, satu lagi
adalah Dr. Kent Brantley. Dalam waktu yang bersamaan, Brantly
mendapatkan satu unit darah dari seorang anak berusia 14 tahun yang
sembuh dari Ebola. Bocah laki-laki itu merasa berhutang budi pada
Brantly karena telah membantu merawatnya hingga sembuh.
Para
peneliti masih kebingungan dengan hasil temuan terkait penyembuhan
Ebola. Mereka pernah melakukan proses transfusi darah dari penderita
yang sembuh Ebola kepada penderita baru. Sayangnya, cara itu tidak
melulu sukses. Ada sebagian orang yang sembuh namun ada juga yang tidak.
Dalam
wawancaranya dengan CNN, mantan pasien asal Liberia, Saa Sabas mengaku
beruntung telah lepas dari Ebola. Dia hanya mendapatkan perawatan
intensif di Pusat Penanganan Penyakit Ebola di Rumah Sakit Gueckedou,
lewat pengobatan oral dan infusi. Pihak rumah sakit juga memberinya
makan teratur. Sebelum kembali ke rumah, Sabas harus menjalani 3 kali
pemeriksaan untuk memastikan dirinya bebas Ebola.
Selain
Sabas ada juga Mohamed dan Zena, dua penderita Ebola berasal dari
Guinea. Berkat perawatan intensif, keduanya akhirnya selamat. Kini,
Mohamed dan Zena menjadi ‘duta’ ebola di Afrika. Mereka mendatangi
pasien dan keluarga, memberi motivasi serta semangat untuk pulih. Di
tengah stigma dan ketakutan berlebihan masyarakat terhadap ebola,
Mohamed dan Zena seakan jadi cahaya. Kisah mereka terus diulang. Itu
memercikkan harapan bagi para pasien ebola.
Sayangnya, hasil penelitian tetap akan menjadi tulisan dan teks dalam jurnal tanpa memasuki tahap produksi. Apakah
untuk menciptakan obat penangkal, harus mengorbankan nyawa miliaran
manusia untuk membuktikan ada pasar potensial dan kepastian modal
kembali?