Program operasi militer TNI selain perang dinilai 'berlebihan'

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Salah satu kritik yang muncul dari kelompok masyarakat sipil dalam peringatan ulang tahun TNI ke-71 yang jatuh pada 5 Oktober adalah semakin masuknya unsur militer dalam kehidupan sipil, di antaranya lewat program Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang pelaksanaannya dinilai berlebihan.
Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI mengatur soal dibolehkannya militer terlibat dalam proses Operasi Militer Selain Perang.
Tercatat, ada 14 fungsi OMSP yang bisa dilakukan oleh TNI, termasuk mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital, membantu tugas pemerintah daerah, membantu menanggulangi akibat bencana alam dan pemberian bantuan kemanusiaan, sampai pencarian dan pertolongan kecelakaan.
Namun, dalam pengamatan lembaga hak asasi manusia, Imparsial, lewat peran OMSP inilah, TNI ditengarai melanggar UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan melakukan intervensi ke ranah sipil.
"Problemnya adalah, OMSP yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan UU TNI. Pelibatan militer dalam penggusuran, penangkapan narkoba, melibatkan TNI dalam bidang penyuluhan di sektor pertanian, itu jelas-jelas sudah di luar konteks tugas OMSP yang seharusnya," kata Al Araf.
Masalahnya, tambahnya lagi, tak berhenti di situ.
"Sebenarnya pengerahan militer dalam OMSP ini dilakukan atas dasar pengerahan oleh presiden, tapi ini didasarkan atas MoU TNI, kurang lebih ada 30 MoU antara panglima TNI dengan kementerian. Ini sesuatu yang buruk dalam relasi sipil dan militer. Dengan adanya MoU TNI, maka sesungguhnya posisi presiden diambil alih oleh panglima TNI dalam pengerahan OMSP," kata Al Araf.
Anggota Komisi I DPR dari PDI-Perjuangan, TB Hasanudin menyatakan bahwa komisinya, sebagai mitra TNI di DPR, sudah menyampaikan keluhan dari masyarakat sipil kepada panglima TNI, terutama soal penggunaan personel militer dalam penggusuran, menjadi penyuluh pertanian, atau pada pengamanan stasiun kereta.

Perintah lisan

Meski begitu, Hasanudin menampik klaim Imparsial soal dugaan pelanggaran Undang-undang TNI dalam pelaksanaan OMSP, karena menurutnya, prosedur yang dijalankan TNI itu sudah memenuhi syarat.
"Keputusan dan kebijakan politik negara itu artinya harus ada pembicaraan atau persetujuan dari DPR, ketika TNI akan melakukan OMSP itu harus dibicarakan dulu, wujudnya tidak harus presiden dengan seluruh anggota DPR, tapi bisa berupa rapat dengar pendapat atau rapat kerja dengan Komisi I," kata Hasanudin.
Menurutnya, dia pernah menanyakan kepada panglima TNI terkait OMSP yang tidak sesuai undang-undang. "Menurut Panglima TNI waktu itu, Jenderal Moeldoko, ini perintah dari presiden, begitu," ujar Hasanudin.
Namun perintah lisan dari presiden ini juga menjadi salah satu sorotan dari Imparsial.
"Aturan main pelibatan militer dalam OMSP, harus lebih dirinci. Tentang kapan militer bisa dilibatkan, untuk tujuan apa, untuk jangka waktu berapa, anggarannya dari mana. Untuk mengatasi terorisme di Poso, presiden hanya memberi instruksi secara lisan, menurut saya itu tidak cukup," ujar Al Araf.
Salah satu contoh keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil adalah pada peringatan Tahun Baru Islam di Madiun, hari Minggu lalu.
Dalam peristiwa itu, seorang personel TNI terlibat insiden pemukulan terhadap seorang wartawan.
Selain soal insiden pemukulan aparat TNI pada seorang wartawan di Madiun, beberapa waktu lalu muncul video yang beredar luas di media sosial yang menunjukkan dugaan pemukulan oleh aparat TNI kepada suporter di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) Jawa Barat.
Video tersebut juga memicu diskusi terkait keterlibatan tentara dalam kompetisi olahraga.
Dalam konferensi pers kepada wartawan saat itu, Pangdam III/Siliwangi Mayor Jenderal Hadi Prasojo "meminta maaf kepada masyarakat luas atas insiden yang terjadi."
Dia mengakui bahwa aparat terpancing emosi sesaat akibat provokasi yang dilakukan suporter.

Related

Indonesia 6791048211660974155

Post a Comment

emo-but-icon

item