UU Kewarganegaraan digugat di Mahkamah Konstitusi

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Undang-undang yang mengatur hak dwikewarganegaraan terbatas otomatis hanya kepada anak-anak kawin campur yang lahir setelah tahun 2006 digugat di Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/10), di Jakarta.
Alasannya, Undang Undang Nomor 12 tahun 2006 dianggap diskriminatif atas anak-anak yang lahir sebelum tahun 2006, yang tidak mendapat hak tersebut secara otomatis.
Dalam Pasal 41 disebutkan anak-anak yang lahir sebelum 2006 itu harus mendaftar menteri lewat pejabat atau Perwaklian Republik Indonesia selambatnya empat tahun sejak UU tersebut diundangkan.
Dan Ira Natapraja -mewakili para ibu yang terlibat dalam perkawinan campur- meminta agar pasal tersebut dihapuskan.
Ira Natapraja adalah ibu dari Gloria Natapraja, yang menjadi berita setelah kewarganegaraannya menghambatnya untuk ikut dalam pasukan Pengibar Bendera di Istana negara pada 17 Agustus lalu.
Dan Gloria yang masuk dalam kelahiran sebelum 2006 tidak didaftarkan karena Ira Natapraja tidak mengetahui peraturannya.
Kasus pengibaran bendera tersebut, yang menjadi pemberitaan nasional, akhirnya membuat Gloria bisa mendapat kemudahan menjadi WNI.
“Sebetulnya buat Gloria sendiri sih dapat kemudahan buat menjadi Indonesia karena ada janji dari Dirjen langsung, dari Bapak Menteri langsung, dari Menhukam bahwa Gloria kapan saja mengembalikan paspor Prancisnya ke Kedutaan Prancis dan saat itu juga mereka sanggup menandatangani Gloria menjadi WNI,” kata Ira Natapraja
“Bagusnya Gloria kan ada isu nasional makanya semua akan dipermudah pemerintah, akan diberikan fasilitas yang khusus. Tapi yang saya pikirkan bagaimana anak-anak yang senasib dengan Gloria dan tidak mempunyai prestasi,” tambah Ira.

Naturalisasi yang 'panjang dan mahal'

Jelas kasus keterlambatan pendaftaran sperti yang dialami Gloria banyak dialami anak-anak kawin campur lainnya.
Juliani Luthan -Ketua Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia atau PerCa- mengatakan banyak ibu yang tidak tahu aturan tentang pendaftaran itu karena sudah terinternalisasi dengan Undang-Undang sebelumnya yang sudah berlaku selama 50 tahun.
“Sebelumnya UU rezim lama, anak-anak tersebut langsung menjadi kewarganegaraan ayahnya. UU yang baru membuat perempuan mempunyaidignity juga, kesetaraan untuk bisa memberikan kewarganegaraan untuk anaknya”, kata Juliani.
Selain itu, menurut Juliani, masih banyak petugas di dalam negeri maupun di luar negeri yang kurang paham dengan pengaplikasian Pasl 41 tersebut.
Anak-anak yang luput didaftarkan ke Menkumham akan diperlakukan sebagai warga asing, dan jika suatu saat mereka memilih menjadi WNI maka harus melalui proses naturalisasi, yang panjang dan mahal. Berdasarkan PP no 45 tahun 2014, biaya untuk naturalisasi sebesar Rp50 juta.
“(Naturalisasi) itu lama, mahal, dan syarat-syaratnya juga harus ada NPWP, SPT 3 tahun, laporan keuangan, kan ini kan gak mungkin,” kata Ira.
Kuasa hukum Ira, Fahmi Bahcmid, berpendapat pasal 41 di UU Tahun 2006 ini kontradiktif dengan pasal sebelumnya
“Kenapa ada sebuah pasal seperti ini? Harusnya tidak perlu dibatasi karena di dalam pasal di atasnya sudah ada pembatasan 18 tahun,” kata Fahmi.

Prosedur Kewarganeragaan Anak

Pada praktiknya, mengurus kewarganegaraan anak kerap dikeluhkan oleh ibu-ibu yang terlibat kawin campur.
Kurangnya sosialisasi, prosedur yang dirasa menguras tenaga, dan uang kerap menjadi penghalang dalam mendaftarkan anak-anak untuk hak dwikewarganegaraan.
Maureen Hitipeuw, misalnya, hingga saat ini tidak bisa memproses paspor anaknya akibat tidak memiliki affidavit atau surat keterangan di bawah sumpah.
“Waktu kami kembali ke Indonesia kami lalai untuk membuat affidavit. Karena pemikiran saya waktu itu dia sudah terdaftar jadi WNI, dia punya paspor Indonesia yang sah yang dikeluarkan KBRI Houston,” cerita Maureen
“Kemudian jadi masalah saat perpanjangan paspor (karena) tidak ada kartuaffidavit. Saya mau mengurus kartu affidavit ini dengan berbekal surat cerai yang resmi yang sudah dilegalisir oleh Kemenlu dan Kemenkumham, namun mereka (Imigrasi) menganggap surat cerai saya bukan sertifikat cerai tapi adalah putusan pengadilan.”
“Memang belum terselesaikan perpanjangan paspor anak saya. Jadi saya tidak bisa membawa dia ke luar negeri.”
“Ayahnya sekarang sakit kanker paru-paru stadium empat dan bulan lalu saya mondar-mandir untuk mengurus paspornya, ayahnya ingin dia ke sana untuk menengok. Tapi tidak bisa karena tersandung masalah paspor, sampai akhirnya ayahnya yang sudah sakit yang datang ke Jakarta,” kata Maureen.

BBC

Related

Indonesia 7834573256641399352

Post a Comment

emo-but-icon

item