Sejak Usia Lima Tahun Putu Febri Hidup Tanpa Orang Tua, Ketakutan Saat Tembok Rumah Roboh!
http://www.srinadifm.com/2017/03/e-news-bali-denpasar-budaya-bisnis.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Kurus dan penuh tawa itulah kesan pertama saat bertemu dengan I Putu Pebri Antara Putra (6) di Banjar Tanah Bang, Desa Banjar Anyar, Kecamatan Kediri.
Bocah yang gemar naik sepeda di halaman rumahnya itu saat ini hanya tinggal berdua dengan sang kakek I Wayan Cakra (76) di rumah yang hampir roboh dengan dinding jebol.
“Inilah kondisi rumah kami, tidak ada apa-apa, kalau boleh tahu bapak dari mana ya?” Tanya Cakra.
Saat dicari dan diajak ke rumah spontan Putu Pebri mengambil sepeda kecil warna merah dan mengelilingi halaman rumah yang luasnya sekitar enam are dan dipenuhi rumput liar.
Mereka tinggal di rumah yang tidak memiliki daun jendela, selain sebuah rumah, ada sebuah dapur yang lebih tepat disebut gubuk di selatan.
Cakra dan cucunya sehari-hari hanya mengandalkan belas kasihan orang atau tetangga, ada yang memberi beras atau lauk.
“Sekitar sebulan yang lalu tembok rumah saya jebol pas hujan. Cucu saya ketakutan dan mengajak tinggal di dapur, tapi kondisi dapur juga rusak,” terangnya yang ditinggal mati oleh istrinya sekitar 30 tahun yang lalu.
Saat ini Putu Pebri harusnya sudah duduk di kelas I sekolah dasar di SDN 1 Kediri.
Tapi, anak periang itu tampaknya enggan meninggalkan sang kakek di rumah.
“Cucu saya tidak mau sekolah, senangnya bermain saja dan harus selalu lihat saya. Kan tidak bisa saya terus temani di sekolah,” ujar Cakra.
Terkait dengan keadaan tersebut pihak sekolah akhirnya memberikan waktu kepada Pebri untuk tidak sekolah, hingga menunggu keinginan anak itu kembali ke bangku pendidikan.
“Diberi waktu oleh pihak sekolah, di rumah dulu,” terangnya.
Saat kondisi tubuhnya masih bagus, Cakra bekerja sebagai buruh bangunan.
Kisah tragis mulai dijalani ketika anak ketiga I Komang Sukarata meninggal dunia tiga tahun lalu.
Disusul oleh adik Putu Pebri, I Kadek Dharma sekitar 1,5 tahun lalu dan menantunya Ni Nengah Merta satu tahun lalu.
“Mereka meninggal karena sakit. Kini di rumah ini saya hanya hidup berdua dengan cucu saja,” ujarnya.
Saat masih hidup anak ketiganya yang tinggal di rumah memang senang bermain judi hingga memiliki banyak utang dan tidak sempat merenovasi rumah.
“Anak saya juga bekerja sebagai buruh bangunan, ada penghasilan. Tapi senang berjudi hingga banyak utang,” jelasnya.
Pria renta yang sudah mengalami gangguan pendengaran itu sebenarnya memiliki enam anak, tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki.
Dua anak laki-laki telah nyentana dan tiga anak perempuan telah menikah.
Saat ini di usia senja dan hanya tinggal bersama cucu, Ia sepertinya masih minim mendapatkan perhatian anak-anaknya.
Cakra menyebutkan dia masih kesulitan memperbaiki lampu rumah yang padam.
“Sudah dua kali saya cari anak laki-laki yang nomor lima di Desa Beraban untuk perbaiki lampu rumah, tapi belum datang. Anak laki-laki nomor enam yang kawin di Badung sudah saya datangi, tapi belum pulang juga,” jelasnya.
Ia hanya sesekali mendatangi anak perempuan nomor empat yang tinggal di Dalung untuk melihat cucu dan diberi bekal sekedarnya untuk Cakra dan Putu Pebri.
“Mungkin jika saya mati cucu akan dititip di anak perempuan nomor satu di Pupuan, yang nomor dua sudah meninggal juga,” terangnya.
Terkait dengan bantuan, Cakra tidak terlalu tahu.
Dia menyebutkan pernah mendapatkan bantuan beras dari pihak kelihan dinas, tapi tidak rutin.
“Masalah bantuan saya kurang tahu, pernah dulu dikasi tapi tidak rutin,” ujarnya.
Kelihan dinas Banjar Tanah Bang, Desa Kediri, Made Suarjana saat dihubungi tidak menjawab.
Perbekel Desa Banjar Anyar I Made Budiana mengatakan, I Wayan Cakra sudah beberapa kali dapat bantuan Corporate Social Responsibility (CSR).
“Sedang kami usahakan, karena baru ada program bedah rumah di dekat rumah Wayan Cakra. Tidak enak terus dibawa ke sana,” terangnya.
(Tribunnews)