Penonton Pesta Kesenian Bali Menangis Saksikan Kisah Jayaprana Layonsari
http://www.srinadifm.com/2017/06/penonton-pesta-kesenian-bali-menangis.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Sejumlah perempuan yang mengenakan gelungan legong itu berlari membentuk lingkaran.
Mengenakan pakaian serba putih, dan berselendang merah, mereka menggerakkan tangan, menarikan jemari, dan memainkan selendang dan kain warna warni yang mereka bawa.
Alunan musik tradisional Bali, yang berkolaborasi dengan musik kontemporer bersatu padu.
Tarian dan gambelan musik tiba-tiba berhenti, satu di antara perempuan itu berteriak keras.
“Aku perempuan. Tubuhku perempuan. Aku bisa menjadi apapun yang aku inginkan,” begitu kata perempuan yang berperan sebagai Layonsari itu di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Art Centre, Denpasar, Bali, Rabu (21/6/2017) siang.
Mereka adalah Komunitas Mahima Singaraja, duta Kabupaten Buleleng yang membawakan Teater Jayaprana Layonsari serangkaian PKB 2017 kemarin.
Dari belakang panggung, tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berperan sebagai Raja I Dewa Kaleran atau Raja Kalianget.
Ia muncul diiringi pula oleh sejumlah perempuan cantik berpakaian putih merah, dan juga mengenakan gelungan legong.
Mereka menari. Tatapan raja itu tegas, mengarah ke atas.
“Aku adalah Raja. Siapapun harus tunduk kepadaku. Aku adalah penguasa,” kata Raja itu dengan angkuhnya.
Alunan musik yang awalnya tegang berubah menjadi romantis seiring kedatangan laki-laki yang memerankan diri sebagai Jayaprana.
Ia berkeliling di surut-surut panggung, kemudian saling pandang dengan Layonsari.
Singkat cerita mereka pun saling jatuh cinta, dan melansungkan perkawinan atas restu raja.
Di balik restunya, Raja ternyata melihat istri Jayaprana begitu anggun, bodi bak gitar spanyol, dan memiliki senyum yang begitu manis, sehingga ia begitu bernafsu.
Raja pun menyusun rencana untuk merebut Layonsari dari Jayaprana.
Alunan musik terdengar bergemuruh hebat, suasana mencekam.
Ternyata Raja mengutus anak buahnya untuk membunuh Jayaprana. Jayaprana yang diminta untuk pergi jauh menolak.
Itu sebabnya, utusan raja yang sebetulnya sangat akrab dengan Jayaprana mengeluarkan keris, dan menancapkan di perut Jayaprana. Jayaprana tumbang dengan darah bercucuran.
Di sudut kalangan Angsoka itu, Layonsari duduk meringkih.
Air matanya menetes seakan menunjukkan kesedihan yang begitu dalam.
Suara kidung kematian terdengar semakin membuat sedih suasana.
Tak lama kemudian, sang raja mendatangi Layonsari.
Dengan tatapan mesumnya, ia menoleh ke arah lekuk tubuh, dan payudara layonsari.
Raja memeluk Layonsari, tapi Layonsari memberontak.
Musik semakin bergemuruh, Layonsari yang tetap berontak itu kemudian memegang keris di punggung raja, dan mengambil keris itu lalu ia tikam dirinya sendiri hingga tewas.
Di akhir cerita, Jayaprana dan Layonsari kemudian kembali bertemu di surga. Mereka kembali menjalin cinta yang suci, dan sejati itu.
Penampilan dari Komunitas Mahima ini mendapat tepuk tangan penonton.
Bahkan, seorang penonton, Sintha, mengaku dirinya sampai menangis menyaksikan kisah Jayaprana Layonsari yang dikemas dengan sangat apik tersebut.
“Aduh, bagus banget. Nyentuh banget pokoknya, saya sampai menangis menonton tadi,” ucap Sintha kepada Tribun Bali.
Kepala Suku Komunitas Mahima, Kadek Sonia Piscayanti menjelaskan, naskah Jayaprana Layonsari dipilih untuk pentas PKB lantaran sangat merakyat di Desa Kalianget, Buleleng.
“Ceritanya tentang cinta yang sejati, yang abadi, mungkin kalau di tingkat internasional setara dengan Romeo dan Juliet. Nah kita kembali ingin membangkitkan cerita-cerita lokal yang menjadi ikon bagi daerah, Buleleng khususnya,” jelas Sonia.
Perempuan yang juga selaku dosen Sastra Inggris di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, ini mengaku telah mempersiapkan pementasan teater ini kira-kira sejak dua bulan lalu.
Dalam pentas ini, kata Sonia, memang dikemas sedemikian rupa agar cerita Jayaprana Layonsari menjadi menarik disaksikan oleh kalangan umum.
“Kami menggabungkan kesenian tradisi dengan musik kontemporer sehingga menjadi kesatuan tersendiri. Beberapa gerakan dari Layonsari adalah gerakan yoga, yang kami gabungkan dengan gerakan tradisional. Kenapa kami gunakan gerakan yoga, karena saya rasa inti dari semua gerakan itu adalah napas,” kata perempuan yang selaku sutradara dalam pentas itu.
Sonia mengaku sangat berkeinginan mengangkat kisah-kisah tradisional yang ada di daerahnya dan diperkenalkan ke publik secara luas bahkan ke mancanegara.
Bahkan, pementasan Layonsari Jayaprana sudah sempat dibawa ke Negeri Belanda, dan Perancis.
“Jadi saya ingin membawa Layonsari dan Jayaprana ini menjadi ikon Bali utara khususnya, Bali pada umumnya dan bisa kita kenalkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kebetulan kami sudah sempat mementaskan ini ke Belanda, dan Perancis, dalam Muhibah Seni Budaya tahun 2014,” kata ibu dua anak itu.
(TribunNews)