Pengungsi Lirik Bisnis Bunga Gumitir
http://www.srinadifm.com/2018/01/pengungsi-lirik-bisnis-bunga-gumitir.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Pengungsi asal Karangasem yang menggeluti bisnis menanam bunga mitir di wilayah Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, semakin bertambah.
Bahkan mereka menyewa lahan sawah dengan harga yang cukup fantastis, kisaran Rp 30.000-Rp 50.000/are untuk sekali panen (selama 3 bulan-4 bulan).
Pantauan NusaBali, usaha bisnis menanam bunga mitir ini awalnya dimulai di sawah wilayah Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, saat status Gunung Agung meningkat dari siaga menjadi awas. Usaha bisnis bunga gumitir itu dilakukan oleh pasangan suami-istri (pasutri) I Kadek Sudiarta,31, dan Ni Kadek Martini,27, warga pengungsi dari Banjar Batang, Desa Besakih, Karangasem, bersama 28 sanak keluarganya di pengungsian.
Bahkan pasangan suami istri tersebut sudah menyewa lahan pertanian warga seluas 8 hektare dengan harga sekitar Rp 30.000/are. Adapun yang sudah ditanami bunga gumitir 5 hektare, baru pembibitan 3 hektare, sekali petik diberi upah Rp 80.000/hari, dengan masa kali petik 4 kali sehari. Keuntungan satu are bisa dipetik 10 kg gumitir, dengan penjualan Rp 300.000, bersihnya Rp 250.000 dan pemasaran dijual ke pasar-pasar di Klungkung. Kalau pas rahinan harganya tinggi bisa mencapai Rp 30.000/kg. Namun saat hari-hari biasa dan panen bunga gumitir melimpah, harganya sempat anjlok menjadi Rp 2.000/kg.
Usaha bisnis menanam bunga gumitir ini juga menjadi dambaan bagi warga pengungsi lain yang telah menekuni sejak bertahun-tahun. Sehingga kini hamparan bunga mitir terus meluas ke sisi utara hingga ke Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan. “Saya baru seminggu ngontrak lahan sawah di sini (Kecamatan Banjarangkan), seluas 40 are,” ujar I Wayan Sumarta, Senin (15/1), seorang pengungsi asal Banjar Kiduling Kreteg, Desa Besakih, Karangasem. Dia mengungsi di sebuah perumahan di Desa Kamasan, Klungkung.
Sumarta menambahkan dalam mengelola bisnis gumitir ini dibantu enam kerabatnya yang sama-sama tinggal di pengungsian. Saat ini tanamannya masih dalam masa pembibitan. “Sehari-hari saya memang menanam bunga gumitir di kampung halaman, sekarang saya terapkan lagi mesti berada di pengungsian. Daripada diam saja di pengungsian, jadi cepat jenuh dan bosan,” ujarnya.
Sementara itu, warga yang kebetulan melintas di persawahan tersebut kerap turun untuk berfoto selfie dengan latar belakang bunga gumitir. Hal ini diakui oleh warga sekitar Ni Wayan Boki, sebelumnya petani sebagian besar menanam padi setelah itu menanm cabai dan pacah. Namun saat musim hujan rentan busuk, sehingga menanam bunga gumitir ini perlu dijadikan pertimbangan untuk ditanam ke depannya. “Warga pengungsi juga terbuka saat ditanya-tanya tentang cara penanaman bunga gumitir ini, namun modalnya memang agak besar,” ujarnya.
Pantauan NusaBali, usaha bisnis menanam bunga mitir ini awalnya dimulai di sawah wilayah Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, saat status Gunung Agung meningkat dari siaga menjadi awas. Usaha bisnis bunga gumitir itu dilakukan oleh pasangan suami-istri (pasutri) I Kadek Sudiarta,31, dan Ni Kadek Martini,27, warga pengungsi dari Banjar Batang, Desa Besakih, Karangasem, bersama 28 sanak keluarganya di pengungsian.
Bahkan pasangan suami istri tersebut sudah menyewa lahan pertanian warga seluas 8 hektare dengan harga sekitar Rp 30.000/are. Adapun yang sudah ditanami bunga gumitir 5 hektare, baru pembibitan 3 hektare, sekali petik diberi upah Rp 80.000/hari, dengan masa kali petik 4 kali sehari. Keuntungan satu are bisa dipetik 10 kg gumitir, dengan penjualan Rp 300.000, bersihnya Rp 250.000 dan pemasaran dijual ke pasar-pasar di Klungkung. Kalau pas rahinan harganya tinggi bisa mencapai Rp 30.000/kg. Namun saat hari-hari biasa dan panen bunga gumitir melimpah, harganya sempat anjlok menjadi Rp 2.000/kg.
Usaha bisnis menanam bunga gumitir ini juga menjadi dambaan bagi warga pengungsi lain yang telah menekuni sejak bertahun-tahun. Sehingga kini hamparan bunga mitir terus meluas ke sisi utara hingga ke Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan. “Saya baru seminggu ngontrak lahan sawah di sini (Kecamatan Banjarangkan), seluas 40 are,” ujar I Wayan Sumarta, Senin (15/1), seorang pengungsi asal Banjar Kiduling Kreteg, Desa Besakih, Karangasem. Dia mengungsi di sebuah perumahan di Desa Kamasan, Klungkung.
Sumarta menambahkan dalam mengelola bisnis gumitir ini dibantu enam kerabatnya yang sama-sama tinggal di pengungsian. Saat ini tanamannya masih dalam masa pembibitan. “Sehari-hari saya memang menanam bunga gumitir di kampung halaman, sekarang saya terapkan lagi mesti berada di pengungsian. Daripada diam saja di pengungsian, jadi cepat jenuh dan bosan,” ujarnya.
Sementara itu, warga yang kebetulan melintas di persawahan tersebut kerap turun untuk berfoto selfie dengan latar belakang bunga gumitir. Hal ini diakui oleh warga sekitar Ni Wayan Boki, sebelumnya petani sebagian besar menanam padi setelah itu menanm cabai dan pacah. Namun saat musim hujan rentan busuk, sehingga menanam bunga gumitir ini perlu dijadikan pertimbangan untuk ditanam ke depannya. “Warga pengungsi juga terbuka saat ditanya-tanya tentang cara penanaman bunga gumitir ini, namun modalnya memang agak besar,” ujarnya.
(NusaBali)