Harga Minyak Dunia Jatuh di Tengah Kenaikan Produksi OPEC
http://www.srinadifm.com/2018/07/harga-minyak-dunia-jatuh-di-tengah.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali jatuh pada perdagangan Senin (2/7), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi akibat meningkatnya produksi minyak Arab Saudi dan Rusia di tengah gejolak perekonomian di Asia usai memanasnya sengketa perang dagang dengan AS.
Dilansir dari Reuters, Selasa (3/7), harga minyak mentah berjangka Brent merosot US$1,93 menjadi US$77,3 per barel. Dalam sesi perdagangan, harga Brent sempat merosot 2,4 persen akibat berbagai pemberitaan pada akhir pekan yang memicu kekhawatiran pasar. Padahal, pekan lalu Brent melonjak lebih dari 5 persen. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate merosot US$0,21 menjadi US$73,94 per barel. Premi antara harga minyak mentah AS awal bulan dengan bulan kedua melebar sebesar S$2,38 per barel, terlebar sejak 20 Agustus 2014. Pergerakan tersebut mengindikasikan ekspektasi pasar terhadap kurangnya pasokan akan terjadi lebih parah dalam jangka pendek.
Berdasarkan data Genscape, pelaku pasar mengatakan persediaan minyak mentah AS di hub pengiriman Cushing, Oklahoma, merosot. Persediaan minyak mentah tercatat turun sebesar 3,2 juta barel pada pekan yang berakhir 22 Juni, tetapi naik tipis pada empat hari berikutnya hingga 26 Juni 2018. Turunnya pasokan di Cushing sebagian disebabkan oleh gangguan di Kanada. Juru bicara perusahaan minyak Kanada Suncor Energy Inc mengkonfirmasi produksi di fasilitas perminyakan Syncrude dekat Fort McMurray, Alberta kemungkinan akan terganggu setidaknya sepanjang Juli. "Sepertinya, ada ketidakpastian yang besar terkait berapa banyak tambahan pasokan minyak di pasar," ujar Vice President Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian di Stamford, Connecticut. McGillian merujuk pada seberapa banyak kapasitas tersisa Arab Saudi mampu melampaui kekurangan pasokan di pasar dunia.
Presiden AS Donald Trump mengirim cuitan melalui akun Twitternya pada Sabtu (30/6) lalu bahwa Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud telah setuju untuk memompa lebih banyak minyak kemungkinan hingga dua juta barel. Namun, pihak Gedung Putih menolak untuk memberikan tanggapan lebih jauh. Survey Reuters menunjukkan bahwa produksi Arab Saudi naik sekitar 700 ribu per barel dari Mei 2018 lalu, mendekati rekor pada November 2016, dimana produksinya mencapai 10,72 juta barel per hari (bph). Sementara, berdasarkan survey Reuters, produksi minyak dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak naik sebesar 320 ribu bph pada Juni 2018 lalu. Kemudian, Kementerian Energi Rusia menyatakan produksi minyak mentah Rusia naik menjadi 11,06 juta bph pada Juni dari 10,97 juta bph pada Mei lalu.
Di AS, produksi minyak mentah telah melesat 30 persen dalam dua tahun terakhir menjadi 10,9 juta bph. Artinya, tiga produsen minyak mentah terbesar di dunia masing-masing memproduksi hampir 11 juta bph atau memenuhi sekitar sepertiga dari permintaan minyak global. Di sisi lain, permintaan minyak terganggu oleh sengketa dagang antara AS dengan sejumlah negara dengan perekonomian terbesar di dunia, termasuk China, Uni Eropa, India, dan Kanada. Ekspor China, Jepang, dan Korea Selatan pada Juni 2018 dilaporkan melambat di tengah memanasnya sengketa dagang dengan AS. JP Morgan dalam laporannya memperkirakan konflik dagang tingkat menengah dunia kemungkinan akan menekan pertumbuhan ekonomi dunia setidaknya sebesar 0,5 persen. Perkiraan itu belum memperhitungkan kondisi pasar keuangan yang mengetat dan kejutan pada sentimen.
Meski ada relaksasi produksi dari Arab Saudi dan Rusia, pasar minyak tetap ketat karena ada gangguan pasokan dari Kanada, Venezuala, dan Libya. Pengenaan sanksi AS terhadap Iran juga berkontribusi terhadap pengetatan pasar lebih jauh. Dalam wawancara Minggu (2/7), Trump mengancam bakal menjatuhkan sanksi pada perusahaan Uni Eropa yang memiliki aktivitas bisnis dengan Iran. "Rencana Pemerintahan Trump untuk menjatuhkan sanksi pada Iran sekarang menjadi semakin jelas. Mereka mencoba untuk mendorong ekspor minyak mentah, kondensat, dan produk minyak Iran menjadi nol," tandas perusahaan konsultan FGE dalam catatannya.
sumber : CNNIndonesia.com