Babak Belur Ekonomi Dihajar 1,5 Tahun Pandemi
http://www.srinadifm.com/2021/08/babak-belur-ekonomi-dihajar-15-tahun.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Peringatan kemerdekaan RI ke-76 tahun pada 2021 masih diwarnai masalah. Salah satunya, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari 'jajahan' pandemi corona.
Selama 18 bulan lamanya, virus corona 'menjajah'
Indonesia. Penjajahan tak hanya dilakukan dari sisi kesehatan tapi juga ekonomi.
Pandemi berhasil membuat perekonomian Indonesia
terguncang. Semua indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi makro, mulai dari
pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga, inflasi, pengangguran, tingkat
kemiskinan, hingga Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur anjlok.
Ekonom Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan perekonomian pada dasarnya bergantung
dari mobilitas penduduk. Sementara, demi menekan penularan virus corona,
pemerintah membatasi mobilitas masyarakat, sehingga tak ayal ekonomi terdampak.
"Semua kegiatan harus dikurangi, dihentikan,
dan secara psikologis masyarakat juga terpengaruh, sehingga otomatis ekonomi
mengalami shock," ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.
Redaksi mengulas kembali kondisi ekonomi makro
selama pandemi dari beberapa indikator. Secara garis besar, ekonomi jatuh
paling dalam pada kuartal II 2020, bertepatan dengan kemunculan awal pandemi di
Indonesia.
Selanjutnya, semua indikator pulih secara perlahan
hingga kuartal II 2021 ini. Namun, Tauhid melihat ancaman pelemahan pertumbuhan
ekonomi pada kuartal III 2021 karena PPKM darurat sejak 3 Juli 2021 lalu.
Pertumbuhan Ekonomi
Temuan virus corona pertama di Indonesia diumumkan
pada 2 Maret 2020. Tak butuh waktu lama, pandemi menghambat ekonomi pada
kuartal I/2020, sehingga hanya tumbuh 2,97 persen (yoy). Padahal, pada periode
yang sama tahun sebelumnya, ekonomi melesat 5,07 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan
pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 merupakan posisi yang terendah sejak 2001,
atau sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
"Bisa kita lihat, tampaknya tidak ada yang
kebal dengan covid-19. Jadi covid-19 tidak kenal negara maju berkembang semua
kena dampaknya tak terkecuali Indonesia," ujar Kepala BPS saat itu,
Suhariyanto.
Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan
pengeluaran kompak lesu. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen dengan
sumbangan terbesar pada PDB (58,14 persen), hanya tumbuh 2,84 persen, anjlok
dari 5,02 persen di kuartal I 2019.
Struktur PDB menurut lapangan usaha, mayoritas
melambat. Dari 17 sektor lapangan usaha, hanya tiga yang menguat meliputi jasa
keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan
sosial.
Perlambatan itu hanya sinyal awal. Pada kuartal
selanjutnya, pertumbuhan ekonomi 'berdarah' hingga minus 5,32 persen. Ini
merupakan kejatuhan paling dalam selama pandemi. Angka ini berbanding terbalik
dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019, yakni 5,05 persen.
"Pandemi menimbulkan efek domino dari
kesehatan menjadi masalah sosial dan ekonomi. Dampaknya menghantam lapisan
masyarakat di rumah tangga sampai korporasi," jelas Suhariyanto saat
pengumuman Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2020.
Kontraksi ekonomi memang tidak bisa dihindari
lantaran pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai
10 April 2020. Pengetatan pembatasan diperpanjang beberapa kali hingga akhirnya
dilonggarkan menjadi PSBB transisi pada awal Juni 2020.
Semua kelompok pengeluaran mengalami kontraksi.
Konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar pada PDB (57,85 persen) minus
5,51 persen (yoy), berbanding terbalik dengan kuartal II 2019 yang tumbuh 5,18
persen.
Sebanyak 10 dari 17 lapangan usaha tercatat minus.
Tiga sektor yang terjerembab paling dalam yakni transportasi dan pergudangan
minus 30,84 persen (yoy), akomodasi dan makan minum minus 22,02 persen, dan
jasa lainnya 12,6 persen.
Melangkah ke kuartal III/2020, RI resmi masuk
jurang resesi ekonomi. Kondisi resesi ditandai dengan kontraksi pertumbuhan
ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Indonesia mengalami resesi ekonomi
bersama sejumlah negara lain di dunia seperti AS, Jerman, Italia, Perancis,
Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan lainnya.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 kembali minus
3,49 persen, meski membaik dari tiga bulan sebelumnya. Penopang pemulihan
ekonomi sepanjang Juli-Agustus adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 9,76
persen.
Seperti diketahui, pemerintah menggelontorkan
bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi masyarakat kurang
mampu hingga dunia usaha. Sementara, konsumsi rumah tangga masih kontraksi,
4,04 persen, membaik dari kuartal II, yakni minus 5,51 persen.
Menutup 2020, pertumbuhan ekonomi mengalami
kontraksi 2,07 persen. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi
sepanjang 2019 yakni 5,02 persen. Berdasarkan catatan BPS, ini merupakan
pertama kalinya Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi setelah
krisis moneter 1998.
Konsumsi rumah tangga belum pulih sepenuhnya
karena masih minus 2,63 persen. Berbanding terbalik dengan capaian selama 2019
yakni tumbuh 5,04 persen.
Selanjutnya, kontraksi pertumbuhan ekonomi
berhasil ditekan ketika memasuki 2021. Hal ini sejalan dengan penurunan jumlah
kasus covid-19 serta pelonggaran pembatasan sosial.
Pada awal tahun, pemerintah mengganti PSBB dengan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bedanya, PPKM menyasar pada
pembatasan kegiatan masyarakat secara terbatas berbasis pada kota dan
kabupaten, bukan pada lingkup provinsi. Dengan demikian, daerah yang berada di
zona hijau bisa beraktivitas lebih longgar sehingga mendorong pemulihan ekonomi.
Pada kuartal I 2021, pertumbuhan ekonomi tercatat
minus 0,74 persen. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,93 persen PDB belum
pulih, sehingga tercatat negatif 2,23 persen.
Sebanyak 11 sektor masih 'berdarah', namun membaik
ketimbang kondisi 2020. Sementara, enam sektor berhasil tumbuh positif dipimpin
kenaikan sektor informasi dan komunikasi 8,72 persen.
Pada kuartal II 2021, pertumbuhan ekonomi berhasil
balik arah dengan mencatatkan pertumbuhan 7,07 persen. Raihan ini sekaligus
menandai RI lepas dari jerat resesi ekonomi.
Konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 55,07
persen terhadap PDB, tumbuh 5,93 persen. BPS merekam sejumlah fenomena yakni
kenaikan penjualan eceran 11,62 persen serta penjualan wholesale mobil dan
motor melesat masing-masing 904,32 persen dan 268,64 persen. Pelonggaran
pembatasan juga mengerek penumpang transportasi kereta api 114,18 persen, laut
173,56 persen, dan udara 456,51 persen.
Semua sektor tumbuh positif, dipimpin lonjakan
sektor transportasi dan pergudangan sebesar 25,10 persen. Disusul, akomodasi
dan makan minum sebesar 21,58 persen, jasa lainnya 11,97 persen dan jasa
kesehatan 11,62 persen.
Namun, Tauhid menilai lonjakan pertumbuhan ekonomi
itu hanya semu, karena berangkat dari basis rendah yakni minus 5,32 persen pada
periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi
kembali melambat di kuartal III 2021 karena terjadi lonjakan kasus akibat
varian delta.
"Masyarakat kelompok menengah atas dengan
varian delta justru akan mengurangi aktivitas belanja, terutama untuk konsumsi.
Ini yang akan membuat pertumbuhan ekonomi tidak stabil di angka 5 persen dalam
jangka panjang. Tetap akan ada pertumbuhan ekonomi tapi tidak stabil, dia akan
mudah sekali up and down," tuturnya.
Inflasi
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk
mengukur kemampuan daya beli masyarakat adalah tingkat inflasi. Imbas
pandemi, Indonesia mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut terjadi yakni
minus 0,1 persen pada Juli 2020, minus 0,05 persen pada Agustus 2020, dan minus
0,05 persen pada September 2020.
BPS merekam kejadian itu merupakan deflasi
berturut-turut pertama kalinya sejak 1999 lalu. BPS juga mengkonfirmasi bahwa
catatan itu menunjukkan daya beli masyarakat Indonesia melemah akibat pandemi.
"Ini menunjukkan daya beli kita masih
sangat-sangat lemah. Selama kuartal III 2020, daya beli masih lemah. Bahkan,
inflasi April-Mei yang ada Ramadan dan Idul Fitri lemah," ujar Suhariyanto.
PMI Manufaktur
Dunia usaha juga tidak luput dari terjangan badai
pandemi. Untuk menggambarkan kondisinya, dapat digunakan Purchasing Managers'
Index (PMI) manufaktur karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja sekaligus
memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada sektor lainnya.
Faktanya, PMI manufaktur langsung nyungsep pada
April 2020 ke level 27,5 ketika PSSB mulai diberlakukan. Bulan sebelumnya, PMI
manufaktur masih bertengger di posisi 45,3.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan angka
tersebut merupakan yang terburuk sejak 2011, sekaligus terparah di Asia pada
periode yang sama.
"Angkanya (turun) paling dalam dibandingkan
negara Asia, lebih dalam dari Jepang dan Korea Selatan," ungkap Sri
Mulyani dalam video conference.
Sebagai catatan, PMI di atas 50 mencerminkan
sektor industri berada dalam kondisi ekspansi. Sebaliknya, PMI 50 ke bawah
menggambarkan sektor industri mengalami kontraksi.
Pada Mei 2020, PMI manufaktur juga masih
terperosok di posisi 28,6. Sektor manufaktur kembali stabil di level ekspansi
pada November 2020 yakni 50,6, berlanjut pada tahun ini.
Sepanjang 2021, sektor manufaktur menunjukkan tren
pemulihan. Bahkan, pada Mei 2021, PMI manufaktur mencetak rekor tertinggi
sepanjang sejarah yakni 55,3. Rekor itu ditopang oleh kenaikan dari permintaan
barang dan produksi.
Sayangnya, tak selang lama usai mencetak rekor
baru, PMI manufaktur kembali jatuh pada level kontraksi, yakni 40,1 pada Juli
2021. Kejatuhan manufaktur dipicu oleh pengetatan mobilitas melalui PPKM
darurat karena varian delta mengerek jumlah kasus covid-19.
Pengangguran dan Kemiskinan
Terpuruknya kondisi perekonomian berimbas pada
dunia usaha sehingga memaksa sejumlah perusahaan mengurangi karyawan agar bisa
bertahan. Banyak pekerja mengalami pemotongan gaji, dirumahkan tanpa upah
(unpaid leave), hingga PHK.
BPS mencatat penduduk usia kerja yang terdampak
pandemi covid-19 sebanyak 29,12 juta per Agustus 2020. Pada periode yang sama,
jumlah pengangguran naik 2,67 juta (yoy) menjadi 9,77 juta orang, dengan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 7,07 persen. Angka ini merupakan jumlah pengangguran
tertinggi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 lalu.
Padahal, tepat sebelum pandemi yakni Februari 2020
jumlah pengangguran bisa ditekan ke level 6,88 juta orang, dengan TPT 4,99
persen. Berbanding terbalik, angka justru posisi TPT terendah selama
kepemimpinan Jokowi. Sayangnya, capaian tersebut tidak bisa dipertahankan
akibat terjangan pandemi.
Ironi lain pada sektor tenaga kerja adalah
kenaikan pekerja informal 4,59 persen (yoy) menjadi 60,47 persen, atau 77,68
juta orang pada Agustus 2020.
"Pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor
formal biasanya akan mencari pekerjaan seadanya di sektor informal," ujar
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto.
Namun, sejalan dengan pemulihan ekonomi, jumlah
pekerja terdampak pandemi pun berkurang 10,02 juta orang menjadi 19,10 juta
pada Februari 2021. Sementara, jumlah pengangguran juga turun menjadi 8,75
juta, dengan TPT 6,26 persen pada periode yang sama. Jumlah pekerja informal
juga berkurang 0,85 persen menjadi 59,62 persen atau 78,14 juta orang.
Namun, Akhmad memperkirakan angka pengangguran
kembali meningkat pada Agustus 2021 disebabkan oleh implementasi PPKM darurat
dan level selama lebih dari sebulan terakhir.
Perkiraannya, jumlah pengangguran bertambah
menjadi 9,98 juta - 10,28 juta jiwa dengan TPT 7,15 persen-7,35 persen.
Sementara, proporsi tenaga kerja pada sektor informal diperkirakan naik ke 60
persen-61 persen
"Perkiraan saya, tingkat pengangguran pada
Agustus 2021 dan tingkat pengangguran pada September 2021 akan meningkat,"
ujarnya.
Bertambahnya jumlah pengangguran memberikan dampak
lanjutan pada kenaikan jumlah penduduk miskin.
Padahal, Kepala Negara pernah membanggakan bahwa
Indonesia berhasil mencetak rekor persentase penduduk miskin satu digit sejak
krisis moneter 1998, yakni pada September 2018. Kala itu, BPS mencatat tingkat
kemiskinan 9,66 persen, setara 25,67 juta orang.
"Alhamdulillah untuk pertama kalinya angka
kemiskinan turun di bawah 10 persen. Hanya satu digit angka kemiskinan, yang
terendah dalam sejarah Indonesia," kata Jokowi waktu itu.
Sayangnya, tingkat kemiskinan kembali ke dua digit
pada September 2020, yakni 10,19 persen setara 27,55 juta orang akibat pandemi.
Memasuki 2021, jumlah penduduk miskin bisa berkurang yakni 27,54 juta orang
pada Maret 2020. Namun, tingkat kemiskinan belum kembali ke satu digit, yakni
10,14 persen.
Serupa dengan kondisi pengangguran, Akhmad
memperkirakan jumlah penduduk miskin kembali naik pada September 2021 mendatang
menjadi 27,84 juta- 28,38 juta jiwa, dengan tingkat kemiskinan 10,25
persen-10.45 persen.
"Tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk
miskin ini lebih tinggi dari tingkat kemiskinan pada September 2020 dam Maret
2021," pungkasnya.
CNN